Rembulan terdiam diantara awan bercahaya, terseok-seok terhenti di siluet dedaunan.
Awan putih bergerumbul kelabu, titis-titis air jatuh bersama harapan.
Kita bagaikan sepasang pengantin yang duduk berdua menikmati syahdunya malam.
Mendekap erat jemariku yang hadir di antara jemarimu yang mungil, menari-nari di bawah hujan rintik tanpa takut kedinginan, kerana dirimu ialah muara peluk yang aku tuju.
Bersama hangatnya tubuh kita berdua yang menyatu di rebahanmu, di gelapmu, di setiap lekuk bumi yang tidak terlepas dari jamahanmu, tak sejengkal pun luput dari cumbumu, tak kurang jangkauan usapmu.
Untukmu yang membuatku berfikir, masih adakah di benakmu sedikit ruang kosong tempatmu sekadar menggelar ingatan kisah-kisah yang dulu pernah menjadi istimewa sebelum ada kata kecewa?
Apakah perasaanmu itu masih terlalu ke selatan. Hingga untuk mengutarakannya kau kesulitan?
Atau mungkin terlalu ke timur, hingga tak mampu kau ibaratkan?
Subuh melabuh langit rendang menyusun awan dan mega. Hening menebar ketenangan jiwa, membias pada rasa yang menyetubuh di seluruh tubuh.
Titisan embun berjajar seperti kristal jernih, rapi memeluk tubuh daun-daun menambah keheningan di ruang imaginasi tempat anganku mengingatimu.
Aku tak ingin rasa ingin memiliki ini muncul kembali. Rasanya sudah cukup untuk kembali merasa kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin lagi mati kerana sebuah harapan.
Tidak ada yang pernah benar-benar tahu, orang lain memandangku dengan begitu penuh dan sungguh pun tidak akan pernah tahu, bahawa dalam sudut kecil hatiku masih menyimpan secuit ingatan tentangmu, senyummu, tawamu, kerdipan matamu, semuanya tentang kamu.
Apabila orang lain pun mengerti, mungkin dia hanya akan menghakimi, bahawa memang nyatanya kau pun tak mampu aku miliki. Bahawa faktanya kau tak akan mampu aku genggam lagi.
Namun biarlah, biar kupendam semua ini sendirian sahaja. Meski kegelisahan dan kesenduan hatiku ini tidak terhingga, tak mengapa. Asal kau tetap abadi dalam semestaku selamanya.
Pagi itu, aku bercerita tentang banyak hal. Tentang kamu, tentang kita, dan tentang semua hal yang membuat aku harus bertemu lagi dengan luka. Pagi itu, entah dia mendengar percakapan itu atau tidak.
"Jika aku berbicara tentang luka yang aku punya, mungkin tidak seberapa. Tapi luka tetap luka, kan?"
Setelah mendengar, kamu cuma terdiam.
Aku hanya menunduk, "Aku baik-baik saja." lanjutku di antara keheningan.
Kadang, semakin bersuara dengan lantang, semakin tak terdengar pula di telinga.
Seperti hanyut disapu oleh sang bayu.
Yang tersisa hanya sayup-sayup suara tanpa tahu apa yang ingin disampaikan.
Dan dari setiap bekas luka yang tidak memudar, ku bawa kau bersamanya.
Walau sejauh manapun kamu pergi, birat dan parut ini adalah bukti luka-luka yang kau tinggalkan.
Meski memar dan relai hati ini tidak mampu terlihat oleh mata kasar.
Apakah dapat kau lihat dan meneka, dari tawanya yang semerekah itu, sedahsyat apakah sebuah kejadian yang telah memporak-perandakannya?
Nyatanya dihadapanmu aku sebisu batu, diam tak bisa lantang berbicara. Tentang rindu. Tentang sayang. Ada apa denganku? Begitu trauma lalu hilang kepercayaan atau engkau yang sialan?
Malam kembali terdiam, langit semakin kelam, gembintang meringkuk di peraduan.
Kunang-kunang beterbangan lalu hinggap di ranting-ranting kecil.
Kerlipnya menyerupai bintang jatuh menghampiri aku yang kelimpungan sendirian.
Aku menemukan diriku yang meranggas.
Bagaikan pepohonan yang merelakan dedaunannya gugur untuk menjemput musim dingin yang paling muram.
Rasanya memang sudah semestinya kita kembali menjadi asing, tapi ku harap kali ini, kita akan melakukanya dengan benar. Semoga selepas ini takdir tidak akan pernah mempertemukan kita selamanya.
Aku penat. Aku ingin kembali pada diriku yang dulu.
Sebelum hadirnya kamu.