Menunggu awan bawa rasaku
Gelap malam menjawabmu
Bintang temani mimpi hatiku
Apakah dewasa memang seperti ini? Tentang sepi yang menjadi wajar? Atau hanya tentang diri sendiri yang bisa dipercaya?
Aku tidak menyangka bahawa dewasa bisa sesepi ini. Banyak cerita yang harus disimpan. Banyak keluh kesah yang harus tertahan. Banyak perasaan yang terasa lebih baik jika dipendam.
Meski aku tahu bahawa Tuhan selalu menemani, tapi rasanya, aku tetap memmerlukan seseorang yang boleh diajak berbicara, mendengarkan isi fikiran dan bertukar pendapat.
Dulu, aku pernah meminta agar debar itu disegerakan sirna. Tapi Tuhan memperlakukan aku seolah tidak pernah mendengar pinta itu.
Ia membiarkan debar itu semakin penuh pada ruang yang tidak begitu luas. Mempersilakan aku untuk jatuh cinta sejatuh yang aku bisa. Membiarkan aku bergembira pada khabar dan haluan yang aku buat. Hilang kendali, dibuat senang oleh prasangkaku sendiri.
Sampai suatu ketika, Tuhan mendatangkan kejadian untuk menyampaikan suatu pesan yang paling menyakitkan. Menguris habis hati yang penuh dengan harapan. Membakar bayangan yang menjadi memori paling bodoh untuk disimpan. Ketika itu, jatuh cinta menjadi bahagian terpahit bagi manusia yang dibunuh oleh prasangkanya sendiri.
Sampai disini aku faham, bahawa Tuhan selalu mempunyai cara terbaik untuk menjawab pinta seorang hamba-Nya. Tuhan tidak hanya menghilangkan debar itu saja, tapi membuatnya tidak akan kembali lagi. Menginginkan agar debar itu tidak lagi punya kesempatan untuk dikenang kembali dengan perasaan senang.
Menanti dekap yang hangat, dari masa ke masa, dari cinta menuju selamanya.
Berapa kali mengupayakan suatu hubungan, berapa kali juga ia begitu susah untuk dipertahankan.
Yang lama seringnya mudah untuk kalah, dan yang baru terlalu mudah untuk menang. Betapa luar biasanya kita membangun dan mempertahankan suatu hubungan dengan manusia, sedangkan hubungan dengan pencipta, sering kita lalaikannya.
Apakah persahabatan ketika dewasa memang seperti ini: mempertahankan, takut ditinggalkan, lalu berujung sepi dan ramai hanya dalam pikiran.
Apakah aku sedih? Tentu saja. Impian itu sering kusebut dalam pinta. Semoga saja, ketika telah pantas impian itu bisa kuraih lagi dengan diri yang telah lebih siap.
Kadang aku berpikir, bagaimana perasaanmu jika mengetahui bahwa aku adalah salah satu orang yang melangitkan pinta untuk segala pada hidupmu?
Segala doa telah pun kulangitkan. Kalaupun ia belum terwujudkan, mungkin rasa sabar masih harus terus dipanjangkan.
Aku memaafkan semuanya walaupun tidak ku tahu kesalahan mana yang harus aku maafkan.
Kalau memang bukan dan tidak ada takdir-Mu di dalamnya, semoga aku dimampukan untuk memulai langkah baru dengan hati yang lebih lapang. Sebab jika memang begitu, bererti aku sedang meniti jalan yang membawa aku kepada ketetapan-Mu.
Aku sepenuhnya yakin, bahawa apa yang telah terlakar tak akan mungkin tertukar. Aku mohon supaya tuntun aku, bagaimanapun akhirnya.